Kebahagiaan dengan hati, kebahagiaan dengan jiwa, kebahagiaan dengan ruh manusia, inilah kebahagiaan dengan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Mempelajari ilmu yang bermanfaat, kebahagiaan dengan mengamalkan Islam, kebahagiaan dengan mempelajari sunnah Rasul ﷺ. Ibnu Qayim Rahimahullah Ta’ala menerangkan disini tentang, “kebahagiaan dengan ilmu ini tidaklah mengetahui nilainya yang tinggi dan tidaklah motivasi untuk mengejarnya, untuk berusaha meraihnya kecuali setelah kita mengetahuinya, setelah kita mempelajarinya”, berarti kebahagiaan itu semua kembali kepada ilmu dan konsekuensi daripada ilmu yaitu mengamalkan amalan shalih.
Dan Allah سبحانه وتعالی, Dialah yang memberi taufik kepada siapa yang dikehendakinya, tidak ada yang bisa mencegah apa yang diberikannya dan tidak ada yang bisa memberi jika Allah سبحانه وتعالی menghalanginya. Sehubungan dengan masalah dan keutamaan kemuliaan ilmu, kebahagiaan puncak yang tertinggi juga hanya akan kita dapatkan dengan izin Allah سبحانه وتعالی setelah klita mempelajari ilmu agama, ilmu yang bermanfaat. Maka kebahagiaan dengan ilmu ini kalau kita saksikan orang-orang disekitar kita, sedikit yang berusaha mencarinya, sedikit yang berusaha untuk mengejarnya, kenapa? Karena keistimewaan itu Allah berikan kepada orang-orang sedikit yang Allah pilih/ tidak diberikan kepada semua orang.
Telah kita ketahui dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan hadist-hadist yang shahih Allah سبحانه وتعالی menyebutkan, “yang sedikit jumlahnya itulah orang-orang yang benar dan sangat sedikit diantara hamba-hamba-Ku yang bersyukur, dan tidaklah kebanyakan mayoritas manusia benar-benar beriman kepada Allah kecuali mereka masih dalam keadaan melakukan perbuatan syirik, dan kamu tidak akan dapati kebanyakan manusia bersyukur”, dan terjemahan ayat-ayat seperti ini banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an.
Jadi memang banyak yang menghindarinya dan tidak mencarinya karena mereka tidak tahu supaya Allah khususkan/ istimewakan hanya kepada hamba-hamba yang dipilih-Nya, orang-orang yang diberi taufik untuk mau mempelajari dan mengkaji ilmu. Berkata Ibnu Qayim dalam penjelasannya,”dan hanyalah yang menjadikan kebanyakan manusia enggan untuk mencari kebahagiaan ini, enggan untuk mendapatkan ini, memang jalan untuk menempuhnya susah, butuh kepayahan untuk bisa mendapatkannya”.
Dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim sabda Rasulullah ﷺ yang terkenal, “surga itu dilingkupi dengan hal-hal yang tidak disenangi oleh hawa nafsu sedangkan neraka dilingkupi dengan hal-hal yang disukai oleh syahwat manusia dan kebahagiaan ini tidak akan bisa diraih kecuali melewati jembatan kesusahan/ kesulitan karena kebahagiaan kemuliaan ini tidak akan didapatkan kecuali dengan kesungguhan yang besar”. Permulaannya dalam kita mencari ilmu perlu bersusah-payah karena nanti diujungnya adalah sebuah kenikmatan/ kebahagiaan yang hakiki.
Kebahagiaan dengan harta atau kebahagiaan dengan kedudukan, kebahagiaan dengan keindahan fisik manusia, ini bisa didapatkan oleh orang yang tidak berusaha mencarinya, dapat dihasilkan oleh selain orang yang berjuang untuk mendapatkannya misalnya seseorang memperoleh warisan atau pemberian, tiba-tiba memperoleh keuntungan besar tanpa perlu bersusah-payah. Kadang orang mendapatkan hal tersebut tanpa perlu bersusah-payah, berbeda dengan kebahagiaan dengan ilmu.
Ada kisah yang disebutkan oleh sebagian para Ulama tentang Imam Malik bin Annas Rahimahullah Ta’ala yang kita ketahui Imam Malik merupakan seorang Imam Darul Hijrah, Imam penduduk Madinah di zamannya, semua orang yang datang/ kaum muslimin yang datang menunaikan ibadah Haji atau Umrah kemudian mampir ke Madinah berusaha untuk bisa bertemu dengan Imam Malik mendapatkan ilmu darinya/ meriwayatkan hadist Rasulullah ﷺ dan banyak yang mengangan-angankan hal tersebut di kalangan para Ulama. Ternyata ada seorang anaknya yang tidak tertarik dengan ilmu, dia malah sibuk dengan urusan-urusan yang lain.
Suatu hari Imam Malik melihat anaknya ini keluar membawa sesuatu di dalam kantung bajunya lalu Imam Malik bertanya, “apa itu?”, ternyata itu adalah semacam mainan atau burung peliharaan maka anaknya menunjukkan hal tersebut kepadanya. Ketika itu Imam Malik mengatakan, “segala puji bagi Allah سبحانه وتعالی yang tidak menjadikan ilmu ini seperti harta warisan/ bisa diturunkan tanpa orang perlu mempelajarinya”. Jika ada harta warisan karena orang tuanya kaya maka ketika orang tuanya meninggal dunia akan diwariskan kepada anak-anaknya dan seketika anak tersebut menjadi orang kaya. Sedangkan ilmu meskipun orang tuanya adalah orang yang berilmu tinggi, mendalam tapi kalau anaknya tidak berkenan mempelajarinya, tidak mau bersusah-payah untuk mendapatkannya maka dia tidak akan mendapatkan ilmu tersebut karena ilmu ini bukan seperti harta warisan yang bisa diturunkan atau sekedar bisa diberikan kepada orang yang tidak bersungguh-sungguh atau mencari untuk mendapatkannya.
Maka ini yang membedakan antara kebahagiaan ilmu dengan kebahagiaan-kebahagiaan dalam urusan dunia lainnya. Kata Ibnu Qayim selanjutnya, “adapun kebahagiaan dengan ilmu maka tidak akan kamu dapatkan kebahagiaan itu kecuali dengan mencurahkan kesungguhan dengan sungguh-sungguh, benarnya niat dalam mencarinya, mencurahkan segenap kesungguhan, jujur dalam mencarinya dan meluruskan niat karena ilmu adalah karunia dari Allah bahkan karunia terbesar yang Allah turunkan kepada manusia”. Maka tidak mungkin karunia Allah akan diberikan kepada semua orang, pasti hanya orang-orang yang dipilih. Allah سبحانه وتعالی mengkhususkan untuk memberikan rahmat-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Itu adalah karunia yang Allah سبحانه وتعالی berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Maka kebahagiaan ini hanya diketahui oleh orang-orang yang mempelajarinya, orang-orang yang berusaha mendalami petunjuk para Nabi dan para Rasul ‘Alaimusshalatulwassalam kemudian mereka berusaha untuk mengejarnya, ini adalah taufik dari Allah سبحانه وتعالی. Oleh karena itu, penuntut ilmu mensyukuri nikmat yang agung ini yang Allah سبحانه وتعالی berikan dan ini merupakan pertanda dia adalah yang dipilih oleh Allah سبحانه وتعالی. Pernyataan salah seorang dari Ulama salaf yang ini juga sering dibawakan Imam Ibnu Qayim, Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah dan yang lainnya salah seorang Ulama salaf yang terdahulu mengatakan, “seandainya para Raja dan para Pangeran mengetahui kenikmatan yang kami rasakan dengan menuntut ilmu dan mengamalkannya niscaya pasti mereka akan berjuang merebut kenikmatan tersebut dari dengan pedang-pedang mereka”.
Kalau mereka tahu maka mereka akan merebutnya hanya saja mereka tidak tahu sehingga mereka tidak berminat untuk mengejarnya. Jadi para Raja atau orang-orang yang memiliki kekuasaan dia ingin memperluas kekuasaannya, berperang untuk mendapatkan harta, memperluas kerajaannya. Hal itu yang mereka cari karena mereka anggap itu puncak kemuliaan, kata Ulama ini, “seandainya mereka tahu ternyata puncak kemuliaan itu ada pada ilmu agama pasti kalau mereka tahu ini, mereka akan merebut itu dari kami”.
Kata Ibnu Qayim selanjutnya, “sungguh sangat indah ucapan seorang penyair yang mengatakan dalam hal ini, katakanlah kepada orang-orang yang menginginkan balasan-balasan yang tinggi disisi Allah, orang-orang yang mengangan-angankan kedudukan yang tinggi tanpa kesungguhan, tanpa perjuangan berarti kamu mengharapkan sesuatu yang mustahil untuk didapatkan”. Urusan dunia saja kalau sesuatu yang tinggi, harga yang tinggi harus bersaing untuk mendapatkannya dan mengeluarkan harta yang besar. Itu urusan dunia, padahal setinggi-tingginya urusan dunia tetap rendah apalagi urusan yang benar-benar mulia di sisi Allah سبحانه وتعالی, urusan surga yang tempatnya tinggi.
Penyair lain mengatakan, “kalau bukan karena kesulitan/ kesusahan niscaya semua manusia akan menjadi mulia/ tinggi”. Yakni kalau semua kemuliaan itu didapatkan dengan mudah maka semua orang mau/ semua orang akan mendapatkan kemuliaan tersebut, tidak ada lagi yang dipilih dan diistimewakan. Kedermawanan atau sifat pemurah itu menjadikan harta kita habis resiko dari banyak menyumbang maka sedikit orang yang dapat menyumbang dengan ikhlas karena dia mengetahui resikonya besar yakni uangnya menjadi berkurang. Uang merupakan sesuatu yang dicintai oleh nafsu seseorang, kedermawanan itu menjadikan orang fakir miskin, dan keberanian itu bisa membinasakan seperti keberanian maju ke medan jihad, keberanian berperang di jalan Allah yang sesuai syariat Islam.
Kenapa kebanyakan manusia tidak dapat meraih kebahagiaan yang hakiki? Karena mereka tahu resikonya besar, kejahilan orang-orang yang mungkin sudah mengetahuinya tetapi dia tidak berani menempuh resiko tersebut. Kalau rajin bersedekah dia akan menjadi miskin, berani maju/ berani berbuat ini juga resikonya akan bisa membinasakan dirinya. Itulah sebabnya kenapa kemuliaan ilmu memang Allah سبحانه وتعالی khususkan bagi hamba-hamba yang dipilih-Nya.
Bagaimana agungnya/ tingginya kemuliaan yang Allah سبحانه وتعالی berikan kepada hamba ketika mereka ingin meraih kebahagiaan dengan ilmu yang bermanfaat, inilah kebahagiaan yang hakiki bersumber dari hati manusia. Ibnu Qayim berkata, “dan barang siapa yang tekadnya semakin meningkat untuk meraih balasan-balasan yang tinggi/ kedudukan-kedudukan yang tinggi maka wajib baginya untuk menutup dirinya dari kecintaan terhadap jalan-jalan yang rendah”. Kalau dia sudah belajar agama, mengenal kemuliaan yang hakiki maka wajib baginya untuk menutupi keinginan nafsunya dalam mencari hal-hal yang rendah.
Berkata Ibnu Qayim, “ini adalah kebahagiaan yang meskipun awalnya tidak lepas dari berbagai macam kesulitan/ hal-hal yang dibenci atau penderitaan akan tetapi kalau kita berhasil menundukkan nafsu agar bisa tetap bersabar menjalaninya kemudian menggiring nafsu kita untuk mentaatinya meskipun dia merasa berat melakukannya kalau dia tetap bersabar untuk menghadapi kesulitan-kesulitan tersebut ini akan membawa dia kepada taman-taman yang indah/ kepada tempat-tempat yang baik di sisi Allah سبحانه وتعالی, kedudukan yang mulia yang kemudian dia akan dapatkan/ dia akan mengetahui setelah itu semua kelezatan dalam urusan dunia, kelezatan yang lainnya itu adalah seperti kelezatan atau kenikmatan yang dirasakan oleh seorang anak kecil ketika dia bermain-main dengan seekor burung, kenikmatan ini dibandingkan dengan kenikmatan yang dirasakan oleh para raja ketika inilah keadaan orang yang telah merasakan kenikmatan ini”.
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh seorang penyair, “kenikmatan yang dibayangkan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bertemu langsung”. Ini merupakan sebuah ungkapan untuk menggambarkan bahwa kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang telah mengenyam manisnya ilmu, merasakan nikmatnya beribadah kepada Allah سبحانه وتعالی jauh dari sekedar apa yang kita bayangkan atau yang kita baca tetapi kalau kita merasakan sendiri maka itu lebih tinggi kenikmatannya.
Penyair ini berkata, “tadinya aku menganggap rasa cinta yang ada padaku telah mencapai puncaknya/ ujungnya sampai kepada puncak yang tidak ada lagi cara untuk bisa berpaling darinya, tidak ada lagi bagiku cara untuk menghindarkan diri darinya akan tetapi kemudian ketika kami bertemu dan aku menyaksikan keindahannya, akhirnya akupun yakin bahwa tadinya aku hanya bermain-main saja”. Yakni sekarang seorang anak ketika dia bermain-main dengan mainannya apa yang dia rasakan? Dia merasa itu adalah puncak kebahagiaan padahal hanya mainan, seorang anak-anak yang bermain dengan mobil-mobilan kecil, dia merasa ini sudah puncak kebahagiaannya tentu ketika dia sudah besar atau dibandingkan dengan orang dewasa yang langsung menaiki kendaraan aslinya dengan segala fasilitas yang ada maka perbandingannya sangat jauh dibandingkan dengan anak-anak tersebut yang dia hanya bermain-main dengan sebuah mainan atau bukan yang sesungguhnya.
Ibnu Qayim berkata, “maka kemuliaan-kemuliaan itu selalu bergandengan dengan hal-hal yang susah diawalnya, dan kebahagiaan tidak akan bisa diraih kecuali dengan melalui jembatan kesusahan dan tidak akan bisa di tempuh jaraknya kecuali diatas perahu kesungguhan dan ijtihad mencurahkan segenap kemampuan”. Imam Muslim dalam kitab shahihnya membawakan ucapan dari seorang Ulama kalangan Tabi’in yang mengatakan, “ilmu tidak akan didapatkan dengan menyenang-nyenangkan badan, ilmu tidak didapatkan dengan memanjakan tubuh/ dengan bersantai-santai dan dulunya ada yang mengatakan barang siapa yang menginginkan kesenangan maka dia akan meninggalkan kesenangan”.
Seorang penyair mengatakan, “bagaimana mungkin seorang kekasih akan mencapai apa yang dicintainya kalau tanpa kesungguhan dia tidak akan mendapatkan jalan selama-lamanya. Kalau bukan karena kebodohan mayoritas manusia dengan manisnya kenikmatan ini, kalau bukan mereka tidak memahami agungnya kedudukan ini, kalau bukan karena ini maka sungguh mereka akan berperang untuk memperebutkan kenikmatan tersebut dengan pedang-pedang mereka/ dengan senjata-senjata mereka akan tetapi kenikmatan/ kedudukan yang mulia ini dilingkupi Allah سبحانه وتعالی jadikan lingkupannya adalah hijab perkara-perkara yang kelihatannya susah/ berat, hal-hal yang tidak disukai oelh hawa nafsu manusia, ditutupi dengan hijab kejahilan”. Ini semua gambaran tentang kebahagiaan ilmu atau kebahagiaan yang hakiki. Ada orang-orang yang memang tidak faham sama sekali maka dia tidak mengejarnya, ada orang yang sudah faham tetapi dia tidak berani menanggung resikonya akhirnya dia tidak sabar.
Tujuannya karena Allah سبحانه وتعالی memang ingin mengkhususkan/ mengistimewakan untuk mendapatkan kebahagiaan ini kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya/ dipilih-Nya dan Allah سبحانه وتعالی memiliki karunia yang agung. Inilah menjadi motivasi bagi orang yang beriman dan diberikan taufik untuk menempuh jalan ilmu, mempelajari sunnah para Nabi dan para Rasul ‘Alaimusshalatulwassalam butuh bersabar karena memang ini adalah kemuliaan yang tinggi.
Sumber: Ustadz Abdullah Taslim