Syuf’ah ialah pengambilan yang dilakukan salah seorang sekutu terhadap bagian sekutu lainnya yang telah dijualnya dengan membayar harga sesuai dengan harga jualnya. Jadi misalnya saya dengan si fulan membeli setapak tanah bersama-sama maka kebetulan dia hendak menjual hak tanahnya 50% maka saya membelinya seperti itu yang dimaksud dengan syuf’ah. Saya mengambil porsi orang yang hendak menjual haknya dari persatuan akad antara saya dengannya yang kami beli bersama-sama. Jadi tidak boleh kita beli dengan harga sewaktu kita beli kalau dia hendak menjual dengan harga pasar maka itu merupakan haknya. Kita bisa melakukan transaksi agar tanah tersebut murni menjadi milik saya. Pada saat sekutu saya hendak menjualnya.
Ketentuan-ketentuan hukumnya adalah:
1) Ketentuan hukum syuf’ah telah ditetapkan di dalam syariat melalui tindakan Rasulullah Saw yang melakukannya sebagaimana diriwayatkan dalam hadist shahih dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu’anhuma, “Rasulullah Saw telah menetapkan syuf’ah pada setiap barang yang belum dibagi tetapi jika batas-batas telah ditetapkan serta cara-cara ditentukan maka tidak ada syuf’ah didalamnya” (Hadist Riwayat Bukhari No. 2257/ Muslim No. 1608). Jadi kalau syuf’ah itu adalah kita sebagai partnernya membeli haknya partner kita tapi disini dikasih batasan oleh Nabi Saw, selama tanah itu belum dibagi kalau sudah dipasang tembok-tembok, sudah terpisah sertifikatnya masing-masing maka sudah tidak ada syuf’ah lagi. Karena syuf’ah itu artinya satu barang dimilki oleh dua orang. Dan nanti salah satunya akan menjual haknya kepada partnernya.
2) Tidak ada syuf’ah kecuali pada asset yang dapat dibagi seperti rumah, tanah, emas, dll. Dan jika tidak dapat dibagi misalnya kamar mandi, ruangan yang kecil serta loteng yang sempit maka tidak ada syuf’ah didalamnya. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw bahwa, “syuf’ah hanya berlaku pada asset yang dapat dibagi”.
3) Tidak ada syuf’ah pada asset (partner membeli hak partner/ mengambilnya) yang dapat dibagi yang batas-batasnya telah ditetapkan, dan cara-caranya telah ditentukan. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “jika batas-batasnya telah ditetapkan dan cara-caranya telah ditentukan maka tidak ada syuf’ah di dalamnya”. Karena setelah asset serikat itu dibagi maka kedudukan sekutu berubah menjadi tetangga sedangkan tidak ada syuf’ah pada tetangga menurut pendapat yang shahih.
Jadi kalau tadi kita membeli tanah 1000 meter dibagi 2, selama belum ada pembatasnya berarti tanah itu masih bercampur-baur, saya tidak tahu posisi tanah saya disebelah mana dan posisi tanah punya dia karena belum ada tembok/ belum ada pemisahan maka setiap jengkal tanah itu milik kami berdua. Disini boleh syuf’ah/ boleh transaksi saya ambil dari partner saya itu supaya saya beli tetapi kalau sudah dipasang temboknya, sudah dipisahkan jelas hak saya disini, hak dia disana maka ini berubah menjadi transaksi umum.
4) Tidak ada asset yang dapat dipindahkan seperti pakaian dan binatang tetapi syuf’ah ada pada asset yang tetap berupa tanah dan asset yang berkaitan dengannya seperti bangunan dan tanaman. Mengingat tidak ada mudharat pada asset yang selain tanah dan asset yang berkaitan dengannya sehingga harus diselesaikan dengan syuf’ah. Jadi hanya boleh benda-benda yang bisa dibagi dan tetap, tidak bergerak.
5) Hak pensyuf’ah dianggap gugur dengan kehadirannya ketika dilangsungkan akad atau mengetahui penjualannya dan dia tidak menuntut suf’ah pada saat itu sehingga waktunya pun berlalu. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw di dalam Hadist Asy-Syuf’ahtunlimanu wa assabaha, “syuf’ah itu hanya berlaku bagi sekutu yang segera menuntut haknya” diriwayatkan Abdul Razak jilid 8 hal.83. jadi kalau misalnya saya beli tanah sama-sama 1000 meter dibagi 2, ini adalah punya saya dan dia. Saya ingin menjual hak saya maka pada saat saya hendak menjual hak saya, saya tawarkan kepadanya terlebih dahulu jikalau dia tidak mau atau dia tidak hadir bahkan saat ada orang lain yang akan bertransaksi dengan kita kemudian terjadilah transaksi tersebut sehingga kita membagi rata dua tanah tersebut maka partner kita tidak memilki hak syuf’ah. Karena hak syuf’ah tadi itu dia boleh meminta untuk membeli dari kita sebagai pemilik setengah bagian dari tanah tersebut maka kita harus dahulukan dia daripada orang lain.
Kemudian juga sabda Rasulullah Saw di dalam hadist yang lain, “syuf’ah itu (hilang) apabila tidak segera dituntut bagaikan (unta yang kabur karena) lepas ikatan” diriwayatkan Ibnu Majah No. 2500. Kecuali bagi sekutu yang tidak hadir maka baginya berhak melakukan syuf’ah dengan memintanya meskipun masa penjualan telah berlalu beberapa tahun. Jadi ketika transaksi dengan pihak ketiga dia hadir, tidak bericara apa-apa, dia setuju saja dengan pembagian tanah yang dibagi dua maka putus transaksi tersebut. Tetapi jika pada saat kita menjual tanah tersebut tidak izin dengannya/ partner kita lalu kemudian kita transaksi dan ternyata dia tuntut maka disini dia harus didahulukan karena dia punya hak daripada orang ketiga. Tentu kita harus adil, kita pun menjual dengan harga pasar yang benar, dia pun/ teman kita ini membeli dengan harga pasar yang ada. Tidak boleh dia tekan karena kita butuh harta, setiap orang muslim harus hati-hati dengan niatnya. Allah akan nilai sesuai dengan niatnya kalau dia tahu kebetulan partnernya ini butuh duit lalu kemudian sengaja dia tekan harganya per meter 1 juta diminta 500 ribu saja maka ini tidak boleh hukumnya. Dan harus transaksi dengan ridha satu sama yang lain.
6) Syuf’ah dianggap gugur jika pembelinya mewakafkan atau menghibahkan atau menyedekahkan asset yang dibelinya karena menetapkan syuf’ah pada asset yang demikian berarti membatalkan ibadah-ibadah diatas maksudnya ibadah: wakaf tanah, hibah, sedekah. Sedang menjaga keabsahan ibadah lebih utama daripada menekankan syuf’ah yang tidak dimaksudkan kecuali menghilangkan mudharat yang mungkin akan terjadi. Ini point yang luar biasa dimana seorang muslim mendahulukan apa yang sudah diniatkan untuk ibadah daripada keuntungan duniawi. Antum kalau sudah niat hibah usahakan agar tidak berubah lagi selamanya, masalah kebutuhan rezeki itu dapat dicari di tempat lain karena mengutamakan utuhnya pahala ibadah didahulukan daripada transaksi duniawi.
7) Pembeli berhak memanen serta menanam yang terpisah jika dia membangun dan menanaminya maka sekutu yang menjadi pensyuf’ah dapat memilikinya dengan membayar harganya atau mencabutnya dengan mengganti kerugiaannya sehingga dia tidak menimbulkan mudharat dan tidak pula menjadi penyebab timbulnya mudharat. Jadi kalau tanah tadi 1000 meter, kami berdua bersepakat syuf’ah mempunyai hak disitu sama-sama diizinkan untuk bertransaksi dengan membeli hak temannya tetapi ternyata saya mau menjual, saya tawari dia ketika datang untuk akad ternyata dia tidak mau. Ada orang ketiga yang datang lalu beli kemudian dibeli olehnya hak saya. Kalau dia pada saat transaksi teman saya ini tidak menuntut syuf’ahnya (hak dia untuk lebih dulu memiliki tanah itu dengan membeli harga pasar) maka pindahlah kepada pembeli baru. Kemudian pembeli baru berhak membangun, membuat tembok, menanam, mengambil hasil panennya disitu kalau temannya yang masih memilki sebagian tanah tersebut mau juga ikut merasakan misalnya mangga, papaya atau apa saja yang ada di tanah sebelah (milik partnernya yang telah dijual) maka dia harus membayar harganya atau mencabutnya dengan mengganti kerugiaannya ataupun misalnya dia terganggu dengan tanah itu karena ditanami sementara ini masih milik kita berdua maka dia boleh mencabut pohon-pohon itu tetapi dia harus menilai pohon beserta buahnya tersebut berapa harganya dipasar untuk digantikan lalu kemudian dia ratakan lagi tanah tersebut. Karena dia berharap tanah tersebut tidak ada bangunan misalnya atau tidak ada pohon-pohonnya sehingga dia tidak menimbulkan mudharat dan tidak pula menjadi penyebab timbulnya mudharat. Tentu yang paling baik kalau kita punya tanah sendiri tetapi ini kita bicara kalau tanah dibeli dua orang.
8) Pertanggungjawaban pensyuf’ah ditujukan kepada pembeli dan pertanggungjawaban pembeli ditujukan kepada penjual. Pensyuf’ah berhak meminta asset yang dijual kepada pembelinya sedangkan pemebelinya harus mengembalikan kepada penjualnya tentang keseluruhan harta yang berkaitan dengan kewajiban syuf’ah didalamnya.
9) Asset yang berhak di syuf’ah tidak boleh dijual dan diberikan dengan demikian tidak diperbolehkan bagi sekutu yang diwajibkan kepadanya syuf’ah untuk menjual atau menghibahkan haknya yang terdapat dalam asset yang disyuf’ahkan kepada orang lain karena menjual dan menghibahkannya bertentangan dengan tujuan yang disyariatkan kepadanya syuf’ah yaitu menolak mudharat dari sekutunya atau mitra usahanya. Jadi tidak bisa spontanitas kita wakafkan tanah itu, intinya harus selalu membicarakan terlebih dahulu dengan partner kita ini.
Selama belum ada batas pembagian yang jelas maka kita harus tetap izin kepada partner kita jika ingin mewakafkan tanah karena partner kita lebih berhak membelinya ataupun sepakat untuk hibah sama-sama sekalian semuanya. Termasuk kita tidak boleh sembarangan membangun bangunan diatasnya, menanam tanpa izinya begitu pula sebaliknya dengannya. Tapi kalau ada salah satu dari partner ini dengan sengaja membangun bangunan atau bercocok tanam kemudian partnernya tidak suka maka ada dua pilihan kalau dia mau merubuhkan bangunan itu dan kemudian atau mau mencabut tanaman-tanaman disitu boleh tetapi dia harus mengganti nilainya. Atau pilihan yang kedua adalah dia membayar saja kalau dia menginginkan sesuatu dari bangunan itu misalnya bangunan rumah itu bagus tetapi ada di tengah-tengah tanah, dia mau ambil setengahnya umpamanya harga bangunan 100 juta maka dia membayar 50 juta sehingga masing-masing memiliki hak 50% dari bangunan tersebut. Jadi akhirnya terbagi dua hak tersebut.
Sumber: Ustadz Khalid Basalamah