Walaupun kita tidak berkumpul dengan fisik dan jasad kita tapi Allah mengumpulkan hati kita. Dimanapun kita berada ‘innamal mukminuna ikhwa’ orang-orang beriman itu bersaudara sehingga kebersamaan itu sesuatu yang indah. Kita di Indonesia bersama seluruh negara-negara di dunia menghadapi Covid-19 maka hendaklah seorang muslim meminta pertolongan dari Allah Azzawajalla dengan izin Allah kita akan bersabar, kita akan ridho dengan takdirnya tetapi kita tetap berupaya untuk menghadapi Covid-19. Shalawat dan salam semoga tercurahkan untuk baginda Nabi kita Muhammad Saw, untuk keluarga beliau, untuk istri-istri beliau, untuk putra-putri beliau, untuk seluruh sahabat Nabi semoga Allah meridhoi kita bersama mereka. Ammaba’ad.
Hari ini kita akan mengkaji kitabun tauhid, kita mengkaji tentang keimanan kita disaat pandemic, disaat musibah, disaat seorang muslim dalam kesulitan. Seharusnya yang dia perbaiki pertama ialah keyakinannya kepada Allah Azzawajalla, diantara doa yang diajarkan oleh Nabi ‘alaiihi shalatuwassalam ketika dalam kegundahan, kesulitan, kegalauan adalah mengatakan “Allah, Allah rabbi laausyriku bihi syai’an” Allah, Allah rabbku dan aku tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Kita percaya bahwa ini musibah dari Allah terjadi karena kehendak Allah Azzawajalla yang bisa menyelesaikannya, yang bisa mengusir kesulitan mendatangkan kemudahan hanya Allah Azzawajalla. Kita ingat do’anya Nabi Yunus ‘alaiihisalam ketika beliau berada di dalam perut ikan paus dikedalaman lautan yang gelap gulita, “siapa yang bersama beliau?” sendirian di perut ikan, beliau kemudian menyeru Allah dengan kalimatul tauhid, suapaya kita tahu kedudukan kalimat ini “kenapa kita ngaji kitab tauhid?” kedudukan kalimat ini. Iman itu ada 60 lebih atau 70 lebih cabangnya, yang paling tinggi adalah ucapan ‘La ilahailallahu’. Maka Nabi Yunus mengatakan “Laa ilaaha illaa antasub haanaka innikuntu minazdaalimiyn” tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim. (QS. Al-Anbiyaa’: 87).
Hari ini kita masuk ke bab ‘Maajaa Fillau’ yang berkaitan dengan pengucapan andaikata, karena mulai ucapan andaikata ini banyak dikatakan dimasa Covid-19 yaitu andaikata lockdown, andaikata karantina, andaikata aku tidak ikut perkumpulan itu maka aku tidak akan terkena Covid-19, andaikata aku tidak naik kereta, andaikata aku tidak belanja, andaikata, andaikata, andaikata. Apa sih ya hukum dari mengucapkan ‘andaikata’? ini berkaitan dengan keimanan kita dengan tauhid kita dan bab ini masyaAllah kita mengkajinya dimasa pandemic Covid-19. Firman Allah:
Artinya:
Kemudian setelah kamu ditimpa kesedihan, Dia menurunkan rasa aman kepadamu (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari kamu, sedangkan segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata, “Adakah sesuatu yang dapat kita perbuat dalam urusan ini?” Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya segala urusan itu di tangan Allah.” Mereka menyembunyikan dalam hatinya apa yang tidak mereka terangkan kepadamu. Mereka berkata, “Sekiranya ada sesuatu yang dapat kita perbuat dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.” Katakanlah (Muhammad), “Meskipun kamu ada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditetapkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui isi hati (QS. Ali-Imran: 154).
Ucapan orang-orang munafik, orang-orang yang lisannya menyatakan dia beriman tapi sejatinya hatinya penuh dengan kekufuran. Perjalanan hidup fitnah-fitnah yang terjadi, kekacauan-kekacauan, musibah yang menimpa itu akan menampakkan mana yang emas murni dan imitasi. Ketika dalam suatu peperangan di perang Uhud umat Islam mengalami kekalahan, apa kata orang-orang munafikin mengatakan “lau kaana” seandainya/sekiranya kita itu punya hak campur tangan dalam urusan ini, kita tidak akan terbunuh, andaikata tadi tidak ikut perang kita bisa memilih kita berada dirumah maka kita tidak akan terbunuh. Ini sebuah ungkapan dia menyatakan dia menolak takdir Allah Azzawajalla. Dia berfikir andaikata dia melakukan ini tidak akan terjadi musibah tersebut. Ini sudah terjadi makanya Allah mengatakan “katakana kepada mereka kalian ini adalah ciptaan Allah Azzawajalla”. Manusia itu tidak akan bisa keluar dari takdir Illahi kemanapun dia pergi yang ada berpindah dari satu takdir ke takdir yang lainnya, Allah mengatakan “Laukuntu fiibuyutikum” kalau kalian dirumah kalian “memangnya kalian tidak akan mati?” ada orang-orang yang berada dirumahnya terpaksa keluar untuk menjemput ajalnya. Kalau kita lihat kematian ini, penyebab kematian itu banyak seperti peperangan tapi “apakah orang yang ikut berperang pasti akan mati di medan peperangan” tidak. Khalid Ibnu Walid rahimahullahuta’ala wa radhiallahu’alata’anhu yang tidak ada satu jengkal ditubuhnya melainkan disitu ada tebasan pedang, ada hujaman tombak, ada bekas anak panah, penuh tubuhnya itu dengan luka-luka tapi kata Khalid bin Walid “Laanamad ’ayunuljubana” semoga tidak bisa tidur orang-orang pengecut tersebut, lihat ini aku seperti ini. Mati di atas ranjang seperti matinya seekor sapi jantan seperti disembelih disana, tidak dalam peperangan dia meninggal dunia. Subhanallahu
Maka Allah mengatakan kalau kalian berada dirumah yang sudah ditetapkan mati akan keluar dari rumahnya kalau tidak mati dijalan, mati di medan perang, mati diatas ranjang maka yang Allah katakan “Waliyabkaliallahu mafiisuduurikum” Allah ketika menetapkan sebuah kewajiban atau Allah memberikan sebuah cobaan, Allah tujuannya untuk menguji apa yang ada di dalam dada kalian. Jama’ah, akan kelihatan mana yang beriman dan mana yang pura-pura beriman “waliyumahishomafiikulubikum” untuk dibersihkan dalam hati kalian agar benar-benar menyerahkan semuanya kepada Allah Azzawajalla. “Wallahu ‘alimunbizatissudur” Allah sudah tahu, faham, mengerti bahwa kalian itu seperti apa namun Allah ingin menampakkan, menunjukkan kerpada umat Islam karena orang-orang munafikin “yukhodi’unallahu” dia mau menipu Allah, seakan-akan dengan mereka pura-pura beriman Allah tidak akan tahu, bagaimana Allah tidak tahu?. Makanya Allah berikan sedikit goncangan-goncangan sehingga lisannya keluar kalau orang beriman apa yang akan dia katakan ketika dia hadir disebuah peperangan, ada saudara-saudara mereka yang tewas di medan perang maka mereka akan mengtakan “Innalillah wainnaillaihi raji’un” Kami milik Allah Azzawajalla dan kepada Allah kami akan kembali, selesai maka dia beriman.
Ketika ada cucu Nabi shalatu’alaihiwassalam yang meninggal dunia, Nabi menyampaikan pesan kepada putrinya, sampaikan kepadanya “Faltasbir waltahtasib” hendaklah dia bersabar dan mengharap pahala dari Allah Azzawajalla. “Innalillahima aatha walahuma akhad wakullusyaiin ‘indahuilla ajrin musamma” sampaikan kepada dia, milik Allah yang dikasih tersebut dan yang ada pada diri kita itu juga milik Allah, yang diambil juga milik Allah Azzawajalla lalu sisanya hanya tinggal menunggu giliran. Semuanya itu sedang menunggu ajalnya, itu orang beriman. Dia tidak mengatakan “andaikata”. Barakallahu fiikum
Artinya:
Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh”. Katakanlah: “Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar” (QS. Ali-Imran: 168).
Lihatlah firman Allah tersebut orang-orang munafik berpendapat seperti itu, kalau tidak ikut perang, kalau duduk maka kalian tidak akan mati. Kalian itu dikarenakan berangkat ke medan perang sehingga ada yang mati coba seandainya kalian berada di rumah maka kalian tidak akan mati, “kata siapa tidak mati?” maka Allah berkata kepada mereka “Fadrauu’an anfusikumulmaut” ooh kalian mengklaim seperti itu, jika demikian coba “bisakah kalian menahan kematian?” artinya dirumah tidak ada orang yang mati.
Kita sekarang ‘stay at home’ mungkin dengan ini ada pelajaran yang dapat kita petik dari mereka berpendapat di ayat yang pertama tadi jika kalian tinggal dirumah kalian maka InsyaAllah kalian selamat, tidak bakalan. Yang sudah ditentukan takdirnya ‘Allahuakbar’ sebab itu datang saja, kalian mau tinggal dirumah kalian. Kita menyelamatkan diri dari Covid-19 bukan menyelamatkan diri dari kematian. Kematian akan tetap datang kalau sudah ditetapkan, ada orang yang ‘subhanallahu’ dia tidak sadar bahwa telah berjabat tangan dengan orang yang positif Covid-19 maka “apa yang terjadi?” tidak mati melainkan ada yang sembuh. Kenapa hal demikian dapat terjadi? Itu dikarenakan belum dicatat mati. Jadi kalau kita bicara kematian, kalian kalau benar omongan kalian bahwasannya orang-orang tersebut kalau tidak keluar rumah, kalau tidak ikut perang melainkan duduk dirumah insyaAllah dia selamat dari kematiaan. Tidak ada hal yang terjadi demikian. “Fadrauu’an anfusikumulmaut” ada yang dirumah mati karena tertimpa gempa, ada yang dirumah mati karena terpleset di kamar mandi bukan ke medan perang dia. Kalau berbicara mengenai kematian maka tidak ada yang dapat menolak kematian tersebut “Inkuntum shadiqiyn” kalau kalian orang-orang yang benar. Itulah orang-orang munafikin, keimanan dia.
Bahwasannya yang terjadi itu adalah ketentuan Allah Azzawajalla bukan ketentuan kita. Kita punya keinginan, kita punya rencana, kita buat perencanaan yang matang untuk terhindar dari Covid-19. Yaa ada orang seperti itu, dia ingin terhindar dari Covid-19 dengan memasang segala sesuatu yang memang sudah diperintahkan pemerintah. Namun, ketika takdir Allah tiba orang tersebut mati maka yang terjadi adalah yang ditentukan oleh Allah Azzawajalla. Barakallahu fiikum
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusan), serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka janganlah kamu mengatakan, ‘seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu’. Tetapi katakanlah, ‘ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki’. Karena sesungguhnya perkataan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan setan.” (HR. Muslim).
Ini hadist awalnya Nabi ‘Alaishalatuwassalam mengatakan “seorang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah”. Apa kekutan yang dimaksud?
1) adalah kekuatan iman, yang menjadi motor penggerak dia. Walaupun tubuhnya kurus ketika imannya kuat maka akan didapati seseorang yang gagah perkasa dalam kekurusannya karena ada kekuatan iman di dia, seperti Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu’anhu, dia kurus kecil betisnya kecil tapi betisnya lebih berat ditimbangan Allah Azzawajalla daripada jabal Uhud. Di kota Mekkah dengan kekuatan imannya Abdullah bin Mas’ud mengumumkan kepada orang-orang musyrikin keislaman dia, mengucapkan tentang ketauhidan Allah dan bathilnya kesyirikan-kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin, kurus, kecil dipukulin oleh orang-orang mekkah sampai tidak sadar. Ketika dia bangun mengatakan “aku akan mengulangi lagi, aku akan sampaikan kepada mereka tentang keburukan akidah mereka” tetapi kata sahabat-sahabat “sudah cukup, cukup sudah cukup” itu merupakan kekuatan bukan hanya kekuatan fisik, kekuatan iman ditambah kekuatan fisik akan mengantarkan kepada sesuatu yang lebih indah lagi tetapi kekuatan fisik dengan lemahnya iman maka ini akan digunakan untuk kemaksiatan, melakukan hal-hal yang dibenci oleh Allah Azzawajalla. Kita lihat orang yang gagah perkasa kerjanya ngapain? Menjaga tempat-tempat maksiat, diberikan Allah kekuatan tidak ada gunanya jika tidak ada kekuatan iman ditubuhnya dan mukmin yang lemah pun tetap ada kebaikan selama dia beriman. Lalu Nabi ‘Alaishalatuwassalam mengajarkan bersungguh-sungguhlah dalam meraih apa yang bermanfaat bagimu. Tetapi dalam proses engkau meraih sesuatu yang bermanfaat jangan mengandalkan akalmu, jangan bersandar kepada ambisimu, dengan ilmumu, namun engkau hendaklah minta tolong kepada Allah Azzawajalla.
Sumber : Kajian Ustadz Syafiq Riza Basalamah